Kamis, 01 Oktober 2020

STRATEGI PILKADA DI TENGAH PANDEMI CORONA COVID 19

 STRATEGI PILKADA DI TENGAH PANDEMI CORONA COVID 19

 


Seiring masa kampanye Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dimulai pada Sabtu 25 September 2020, para pasangan calon mencari siasat untuk mengumpulkan dukungan masyarakat dalam situasi pandemi covid-19.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menerbitkan revisi aturan yang melarang kampanye dengan cara menciptakan kerumunan masa seperti rapat umum dan konser musik, serta membatasi pertemuan tatap muka.

Dengan sebagian besar kampanye diperkirakan akan dilancarkan di dunia maya, organisasi pemantau pemilu memperingatkan akan bahaya konten disinformasi dan berita bohong.

Bagaimanapun, tidak semua kandidat dalam Pilkada serta-merta mengalihkan kampanye mereka ke media sosial. Pilkada akan diselenggarakan pada 9 Desember 2020 di 270 daerah dan melibatkan sekitar 105 juta pemilih. Kampanye dijadwalkan dimulai pada 26 September sampai 5 Desember, dan masa tenang dimulai pada 6-8 Desember. Strategi pilkada di tengah pandemi covid 19 merupakan situasi yang komplek mengingat harus mematuhi protokol covid 19. Pilkada strategi yang sedeerhana untuk memudahkan koordinasi perlu dan harus membentuk posko pemenangan baik posko-posko di tingkat koordinator/pusat, per dapil, per wilayah berdasarkan urgensinya, kecamatan, hingga tingkat desa-desa/kelurahan tentunya hingga per TPS untuk membangun jaringan dalam rangka kemenangan pilkada.

1.      Program pilkada di tengah pandemi COVID-19 sedikit berbeda sehingga mekanisme yang dilakukan dan tetap mengoptimalkan sistem jaringan daring. Situasi seperti saat ini tidak mungkin melakukan pertemuan-pertemuan melibatkan banyak orang.Tentunya kita akan terjunkan kader-kader terbaik untuk door to door menyapa masyarakat mengenalkan sosok calon agar masyarakat semakin yakin mencoblos dalam pilkada 2020. Imbauan pembatasan interaksi sosial atau social distancing dalam upaya mewaspadai penularan virus corona (Covid-19) mendorong pemutusan rantai penyebaran di kalangan masyarakat. Pedoman kampanye daring :

a.      KPU menetapkan Peraturan Peraturan Komisi Pemilihan Umum no. 13 tahun 2020 yang merevisi peraturan sebelumnya.

b.      Pasal 58 dalam peraturan baru menyatakan para kandidat dalam Pilkada serentak 2020 harus mengutamakan kegiatan kampanye di media sosial dan media daring.

c.       Jika kampanye tidak dapat dilakukan melalui media sosial dan media daring, maka dibolehkan pertemuan tatap muka dengan jumlah peserta yang hadir paling banyak 50 orang serta menerapkan protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran Covid-19.

d.      Pada pasal 88C, KPU dengan tegas melarang tim kampanye melaksanakan kegiatan yang biasanya mengumpulkan massa dalam jumlah besar seperti rapat umum, kegiatan kebudayaan seperti pentas seni atau konser musik, kegiatan olahraga, perlombaan, kegiatan sosial, atau peringatan hari ulang tahun partai politik.

e.       KPU juga membatasi penayangan iklan kampanye di media sosial dan media daring hanya selama 14 hari sebelum dimulainya masa tenang pada tanggal 6 Desember.

f.       Konsekuensi pertama dari keputusan tersebut adalah soal ketimpangan akses internet. Menurut riset platform manajemen media sosial HootSuite dan agensi marketing sosial We Are Social bertajuk "Global Digital Reports yang dilansir akhir Januari 2020", menyebutkan baru 64% atau sekitar 175,4 juta masyarakat Indonesia menggunakan internet. Pada Mei 2019, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) juga menyebutkan angka pengguna internet di Indonesia tidak jauh berbeda, yakni 64,8%. Selain itu, APJII juga menunjukan data penetrasi internet pada rentang usia 5-9 tahun hingga rentang 65 tahun ke atas. Data menunjukan rentang usia 15-19 tahun tertinggi penetrasinya yaitu mencapai 91%. Sementara penetrasi terendah terjadi pada rentang usia 65 tahun ke atas yaitu 9,5%. Dari data APJII, Saya mencoba menjumlahkan prosentase dari rentang usia yang masuk sebagai calon pemilih (17 tahun ke atas) dan menghitung reratanya. Ternyata, dari 185.732.093 calon pemilih yang terdaftar di BPS, penetrasi internet pada usia pemilih hanya sekitar 55,8% atau sekitar 103,64 juta calon pemilih. Sisanya, sekitar 82,1 juta calon pemilih belum terpapar internet. Ketimpangan akses tersebut diperparah dengan kenyataan lebih dari setengah pengguna internet (55%) berada di pulau Jawa. 45% sisanya tersebar di beberapa kota besar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Papua. Kondisi ketimpangan ini sangat besar angkanya untuk diabaikan. Jika KPU tetap pada rencananya, maka mereka harus mencari alternatif kampanye digital yang tidak semata tergantung pada akses internet. Penggunaan televisi, video tron, atau media publikasi digital sejenis bisa dijadikan alternatif lainnya. Tentu saja konsekuensi berikutnya adalah soal pembuatan aturan dan anggaran pengadaan media kampanye digital yang kemungkinan besar akan mengundang kontroversi di masyarakat.

2.      Strategi khusus mesinergikan dua aspek mendasar yakni strategi pemenangan dan strategi program sebagai solusi menjawab kebutuhan masyarakat, khususnya dalam menghadapi era Adaptasi Kenormalan Baru (AKB) pandemi Covid-19. Strategi pemenangan mencakup langkah-langkah strategis, mulai dari penjaringan dan seleksi calon kepala daerah, merancang koalisi strategis dengan kekuatan politik lainnya, menyusun metode kampanye yang sehat, aman, efisien, efektif dan produktif hingga langkah pengamanan saat pemungutan suara. Sementara jaringan mesin partai koalisi digunakan untuk mensosialisasikan calon, menggunakan jaringan-jaringan ini lebih baik fokus pada bakti sosial di tengah pandemi COVID-19. Situasi seperti saat ini tidak mungkin melakukan pertemuan-pertemuan melibatkan banyak orang.Tentunya kita akan terjunkan kader-kader terbaik untuk door to door menyapa masyarakat mengenalkan sosok calon agar masyarakat semakin yakin mencoblos dalam pilkada 2020. Merapatkan mesin partai, selanjutnya diminta seluruh Partai koalisi pengusung menyapa warganya. Paling tidak warga dapat merasakan partai pengusung dan tim pemenangan / relawan itu masih hadir ditengah pandemi COVID-19.

3.      Kampanye dengan tatap muka tetaplah yang paling efektif. Namun itu pun bukan dilakukan dengan orasi di hadapan kerumunan massa melainkan pendekatan dari rumah ke rumah. Melakukan personal approach kepada masyarakat. Mendatangi satu per satu ( door to door) dengan kata lain blusukan.

4.      Mematuhu peraturan tersebut antara lain UU No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dengan sanksi administratif berupa peringatan dan denda administratif; serta KUHP Pasal 212 dan Pasal 218 yang dikaitkan dengan kerumunan massa saat tahapan Pilkada dengan ancaman hukuman penjara dan denda.

5.      Ironi pencitraan .

Hal lain yang perlu diperhatikan juga adalah soal pemanfaatan media untuk mendulang popularitas. Popularitas, dalam hal ini (merujuk pada pendekatan popular culture) terkait segala hal yang dibesarkan oleh media. Popularitas bisa menjadi pendongkrak elektabilitas apabila masuk menjawab kebutuhan emosional calon pemilih. Pada posisi ini, derajat popularitas naik menjadi ekseptabilitas (acceptable). Popularitas yang ekseptabel umumnya disebabkan kedekatan antara image dengan reality atau istilah lainnya bukan pencitraan. Dengan diberlakukannya kampanye digital, proses ekseptabilitas calon pemilih akan dikompensasi sepenuhnya dalam dimensi image alias pencitraan.  Calon pemilih nantinya hanya mengadalkan kemelekan mereka pada media (media literacy), sehingga bisa kritis memfilter pencitraan-pencitraan yang terpapar kepadanya. Akan tetapi, kondisi media literacy masyarakat kita cukup memprihatinkan. Para kandidat nakal akan dengan dengan leluasa memborbardir media dengan konten-konten pencitraan bahkan dengan cara-cara jahat seperti memfitnah, berbohong, memanipulasi fakta, dan sebagainya. Kampanye digital akan menjadi ajang pencitraan tanpa perlu capek-capek diburu oleh keinginan publik untuk cek lapangan. Kondisi semacam ini akan berbahaya karena KPU akan dianggap memberikan peluang memaklumi kejahatan digital. KPU perlu menyiapkan dua sisi literasi baik dari calon pemilih dan kandidat.

6.      Tantangan KPU.

Melihat tantangan yang akan dihadapi KPU dalam pelaksanaan kampanye digital, ada baiknya wacana tersebut segera digulirkan agar masyarakat ikut terlibat memberikan masukan. KPU perlu menyiapkan mekanisme komunikasi publik yang tepat dalam menyampaikan rencana tersebut. Sehingga, niatan KPU memastikan sistem pilkada demokratis di masa pandemik tidak malah menjadi kontra produktif diakibatkan ketidaktepatan penyampaian informasi publik, seperti yang dialami pemerintah dalam penanganan Covid-19.

 

 

 

 

STRATEGI PILKADA DI TENGAH PANDEMI CORONA COVID 19

  STRATEGI PILKADA DI TENGAH PANDEMI CORONA COVID 19   Seiring masa kampanye Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dimulai pada Sabtu 25 Sep...